Senin, 11 Januari 2010

PENERAPAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF DALAM PEMBE-LAJARAN MATEMATIKA MENGACU KONSTRUKTIVISME

PENERAPAN POLA PIKIR INDUKTIF-DEDUKTIF DALAM PEMBE-LAJARAN MATEMATIKA MENGACU KONSTRUKTIVISME

Piaget (dalam Boudorides, 1998) menyatakan pengorganisasian dalam benak siswa membentuk skema. Istilah “organisasi” melukiskan kemampuan organisma mengorganisasikan proses-proses fisik atau psikologik ke dalam sistem yang berkaitan. Berkaitan dengan pembelajaran matematika, siswa memproses dan mengorganisir informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme).

Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Hudojo (2003) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Jadi mengacu pada kedua pendapat ini skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa. Hudojo (2003: 59) berpendapat sebenarnya skema itu adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya.
Piaget memandang bahwa pertumbuhan berpikir sebagai adaptasi terhadap pengaruh lingkungan secara kontinu. Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).

Dalam pembelajaran matematika, siswa mengkonstruksi matematika melalui proses adaptasi dan organisasi. Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada pengetahuan yang diperoleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa memperoleh pemahaman matematika berdasar pada skema yang sudah dimiliki. Masuknya skema-skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada akomodasi dalam menyerap dan memahami konsep-konsep atau struktur-struktur matematika dan mengorganisasikannya dalam struktur mental siswa.

Adaptasi merupakan keadaan setimbang dari asimilasi dan akomodasi. Jika dalam proses asimilasi individu tidak dapat mengadaptasi lingkungan, maka keadaan seperti itu dikatakan dalam keadaan ”ketidaksetimbangan”. Akomodasi sebagai akibat adanya ketidaksetimbangan ini, dan struktur yang ditampilkan dimodifikasi atau muncul yang baru. Perkembangan intelektual merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus dari keadaan seimbang menjadi tidak seimbang. Apabila kesimbangan kemudian tercapai, maka individu berada di tingkat intelektual yang lebih tinggi dari pada tingkat sebelumnya.

Proses asimilasi dan akomodasi merupakan proses berpikir yang terjadi dalam benak siswa. Dalam berpikir tentang matematika, individu tidak lepas dari bernalar matematika. Penalaran matematika sebagai salah satu bagian dari proses berpikir matematika termasuk membentuk generalisasi dan menentukan kesimpulan-kesimpulan valid tentang idea-idea dan bagaimana keterkaitannya. Tipe terpenting dari penalaran matematika adalah penalaran induktif dan deduktif.

Berpikir induktif diartikan sebagai berpikir dari hal-hal khusus menuju umum dan berpikir deduktif diartikan sebagai berpikir dari hal umum menuju hal khusus. Dalam tulisan ini pola pikir induktif diartikan sebagai suatu proses berpikir yang bermula dari hal-hal khusus menuju hal yang lebih umum. Pola pikir deduktif adalah suatu proses berpikir yang bermula dari hal yang bersifat umum menuju hal yang lebih khusus.

Dalam pembelajaran matematika, meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola pikir induktif. Pembelajaran matematika terutama di jenjang SD/MI dan SMP/MTs masih sangat diperlukan penggunaan pola pikir induktif. Ini berarti dalam penyajian matematika di kedua jenjang pendidikan tersebut perlu dimulai dari hal-hal yang khusus, misalnya contoh-contoh, secara bertahap menuju suatu simpulan atau sifat yang umum. Simpulan dapat berupa suatu definisi atau teorema-teorema yang diangkat dari hal-hal khusus tersebut (Soedjadi, 2000).

Dalam pembelajaran matematika, pola pikir induktif digunakan oleh guru jika dalam menyampaikan materi pembelajaran dimulai dari hal-hal yang khusus menuju ke hal yang lebih umum. Dalam mengenalkan konsep bangun datar, misalnya persegi, guru dapat menunjukkan berbagai bangun geometri atau gambar datar kepada para siswa, dan mengatakan “ini namanya persegi.” Selanjutnya menunjuk bangun lain yang bukan persegi dengan mengatakan “ini bukan persegi.” Dengan demikian siswa dapat menangkap pengertian secara intuitif sehingga siswa dapat membedakan mana bangun yang berupa persegi dan mana yang bukan. Ini merupakan langkah induktif atau mengikuti pola pikir induktif (Soedjadi, 2000).

Setelah guru memberikan kasus khusus misalnya contoh-contoh, siswa mengamati, membandingkan, mengenal karakteristik, dan berusaha menyerap berbagai informasi yang terkandung dalam kasus khusus tersebut untuk digunakan memperoleh kesimpulan atau sifat yang umum. Ini merupakan bagian kegiatan yang penting dalam pembelajaran matematika beracuan kosntruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif. Melalui pengamatan pada kasus-kasus khusus tersebut, siswa memperoleh “pengalaman” yang diserap di benak siswa. Dengan demikian terjadi aktivitas aktif siswa dalam mengkonstruk matematika menggunakan pola pikir induktif.

Pembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu konsep matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Siswa memperoleh pengalaman ketika melakukan pengamatan secara cermat pada kasus-kasus khusus yang diberikan guru. Berdasarkan pada hasil pengamatannya, siswa membangun pengetahuan yang berupa konsep atau memperoleh generalisasi secara mandiri berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam mengkonstruk matematika ini siswa terlibat dengan proses adaptasi dan organisasi, sehingga mempelajari konsep matematika dengan cara seperti ini dipandang lebih bermakna dari sekedar menghapalkannya (Marpaung, 2003).

Dalam rangka merancang pembelajaran matematika yang bermakna guru perlu memikirkan kegiatan yang melibatkan siswa menggunakan pola pikir deduktif. Hal ini untuk membiasakan siswa berpikir deduktif dalam belajarnya. Hal ini dikarenakan matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak dan penalarannya deduktif (Hudojo, 2005). Guru dapat mendesain kegiatan pembelajaran yang mampu mengungkap penggunakan pola pikir deduktif. Namun bagi siswa SMP/MTs penggunaan pola pikir deduktif ini sering dipandang berat, misalnya pembuktian dengan pola pikir deduktif. Di SMP/MTs, penggunaan pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi atau teorema dalam pemecahan masalah (Soedjadi, 2000).
Polya (1973) menyatakan pemecahan masalah sebagai usaha jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Terdiri dari masalah untuk menemukan (problem to find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove). Hudojo (2003: 148) menyatakan suatu pertanyaan akan merupakan masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu dapat juga terselinap dalam suatu situasi sedemikian hingga situasi itu sendiri perlu mendapat penyelesaian. Disinyalir dalam pemecahan masalah siswa sulit memisahkan dalam menggunakan pola pikir induktif atau deduktif.

Menurut Miyazaki (2000) bahwa dalam matematika di sekolah menengah rendah pembuktian memuat penalaran logika misalnya penalaran induktif, deduktif dan analogi. Oleh karena itu isi pembuktian memerlukan penalaran logika berdasar pada asumsi-asumsi benar bagi siswa sendiri. Kegiatan deduktif termuat dalam pemecahan masalah sebagaimana tersinyalir dari pada pendapat Soedjadi (2000) yang menyatakan bahwa pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi atau teorema dalam pemecahan masalah.

Menurut penelitian yang dilakukan Recio dan Godino (2002) dapat disinyalir bahwa masih banyak mahasiswa di tingkat pertama perguruan tinggi yang berpikir sebagaimana pada tahap operasi konkret dengan penalaran induktif. Masih banyak mahasiswa yang kurang mampu belajar matematika dengan proses deduktif. Berkaitan dengan pembelajaran matematika di sekolah, Recio dan Godino menyarankan untuk melakukan penelitian tentang pembelajaran berkaitan dengan pemecahan masalah.

Dalam pemecahan masalah, siswa terlibat bukan hanya sekedar mengaplikasikan rumus dan aturan-aturan matematika, tetapi juga mengandung pengertian tentang abstraksi dan generalisasi matematika. Kadang siswa memecahkan masalah bergerak dari induktif menuju deduktif. Siswa dalam memecahkan masalah dalam berpikir menggunakan pola pikir induktif dan deduktif secara bergantian (Hudojo, 2003). Senada dengan Hudojo, Major (2006) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran lebih baik memuat keduanya kegiatan induktif dan deduktif meskipun tak dapat dihindari mana yang lebih dominan.

Berdasarkan pendapat Miyazaki, Soedjadi, Hudojo dan Major ini dapat disimpulkan bahwa dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif-deduktif dalam arti dalam memecahkan masalah siswa menggunakan pola pikir induktif dan deduktif secara bergantian. Meskipun istilah yang digunakan adalah pola pikir induktif-deduktif, dalam kegiatan pembelajaran matematika untuk siswa SMP/MTs penulis berpendapat yang lebih dominan seyogyana adalah kegiatan induktif. Dalam kegiatan induktif ini siswa diajak belajar menggunakan pola pikir induktif mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar